GEREJA DAN NEGARA
Oleh: Prof. Adrianus Meliala, Ph.D
Artikel ini dipersiapkan khusus untuk Hari Orientasi Pastoral Evangelisasi (HOPE) 2020, Gereja Katolik Paroki Santo Paulus Depok, Sabtu 8 Februari 2020.
Prof Adrianus Meliala, Ph.D: Wakil Ketua Dewan Pastoral Paroki Santo Thomas Kelapa Dua (2014-2016); Anggota Komisi Kerawam KWI (2014-sekarang); Koordinator Kelompok Dosen UI Katolik (2010-sekarang); Ketua Umum Lembaga Pembinaan dan Pengembangan Pesparani Katolik Nasional (2018-sekarang); Pakar/Penasehat dari Berbagai Ormas Katolik
Jika dikatakan kerasulan awam baru akhir-akhir ini berkembang, itu seiring dengan perkembangan kemasyarakatan yang makin memperlihatkan wajah intoleran, diskriminatif dan bahkan radikal. Masalahnya, guna menghadapinya, posisi gereja seringkali ambigu atau tidak jelas terhadap negara.
Ada kalanya gereja tidak mau berdekat-dekat dengan negara. Negara dianggap korup, berbelit-belit dan tidak efisien. Maka, gereja mengembangkan diri secara amat mandiri : tidak merasa perlu meminta dana negara, tidak merasa perlu meminta saran kepada aparat terkait aktivitas gereja. Rendah pula kemauan melakukan silaturahmi kepada anggota muspida, misalnya.
Hal ini kemudian berdampak pada “tidak dikenalnya” nomenklatur agama Katolik serta Gereja Katolik dalam dokumen politik yang disiapkan eksekutif untuk DPRD setempat. Ini bisa terjadi mengingat gereja tidak mendorong umatnya untuk ambil bagian dalam politik sehingga, alhasil, tidak ada wakil orang Katolik di parlemen dan/atau eksekutif.
Namun demikian, di pihak lain, gereja pula yang kemudian sering resah dan bertanya bahwa negara tidak adil ketika seolah-olah “membiarkan” kelompok intoleran mengganggu atau ketika ada pemda yang tidak kunjung mengeluarkan kebijakan pembangunan gereja. Gereja juga selalu resah dengan SKB 2 Menteri perihal pembangunan rumah ibadah yang dianggap diskriminatif. Jika di satu sisi kita tidak merasa butuh negara, mengapa pada sisi lain kita bertanya negara di mana?
Khususnya ketika dewasa ini negara mengalami kondisi disrupsi (atau, untuk mudahnya, mengalami perubahan besar) baik dalam hal perencanaan, penganggaran, munculnya kebutuhan baru bahkan tuntutan baru terkait pelayanan publik, maka gereja juga diharapkan melakukan self-disruption atau upaya sengaja mendisrupsi diri terkait cara pandang terhadap negara di atas.
Disrupsi yang kita harapkan terjadi adalah dalam hubungan antargereja. Diakui atau tidak, secara realistis memang ada persaingan antar-agama. Penyebabnya banyak dan sangat kompleks. Menurut A.B Susanto (2014, ibid), sebagai sesama umat, apalagi sebagai pengurus gereja, kita merasa bersalah jika ada domba kita yang hilang atau tersesat.
Jika persaingan tersebut terjadi antar gereja Kristen dan Katolik, maka itu terlihat ironis. Sebagai kelompok minoritas, kok malah saling bersaing sehingga melemahkan diri sendiri. Kiranya, solusi perlu diupayakan di tingkat kerawam sebelum kemudian dikunci di tingkat pimpinan gereja masing-masing.
Permasalahan negara sekarang secara perlahan sudah mulai berganti. Dari korupsi menjadi inefisiensi. Dari kebiasaan bekerja manual menjadi bekerja sok digital. Dari bekerja tidak terukur menjadi bekerja dengan cek mundur. Maka, menghadapi negara yang berubah itu, gereja perlu mulai berubah pula.
Pada tingkat tertentu, gereja juga sudah mengantisipasinya. Penulis mendengar, semakin banyak keuskupan, bahkan gereja, yang mulai serius mengisi dan memberdayakan seksi atau komisi kerawam-nya. Walau tidak atau belum mengalami permasalahan terkait politik, hukum atau sosial, maka kerawam di paroki-paroki yang sebenarnya tidak bermasalah, tetap difungsikan guna memelihara hubungan dengan instansi, masyarakat sekitar dan lain sebagainya. Para pastor juga mulai terlihat membagi waktunya untuk menyambangi pimpinan daerah dan tokoh masyarakat.
Baca Selanjutnya:
BEBERAPA PERSOALAN AWAM KATOLIK INDONESIA DAN UPAYA MENGATASINYA: MENCARI MAKAN DI GEREJA (6)